Palopo – Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo, Achmad Sulfikar, tampil sebagai narasumber dalam kegiatan bertajuk “Klinik Metodologi” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Studi Islam Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah (Satu) Tulungagung, Rabu (29/10/2025). Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui platform zoom meeting dimulai pukul 10.00 Wita.
Achmad Sulfikar membawakan materi dengan judul “Meneliti Islam di Era Digital: Dari Etnografi Virtual hingga Analisis Big Data.” Ia memaparkan berbagai pendekatan metodologis untuk memahami dinamika studi Islam di ruang digital dengan memadukan metode kualitatif dan kuantitatif.
Pada bagian awal presentasinya, Sulfikar yang sekarang menjabat Koordinator Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (Korpus Abdimas) UIN Palopo ini, mengangkat studi kasus tentang “Membedah Dinamika Otoritas di Forum Fatwa Online.” Ia menjelaskan bagaimana proses pemilihan lapangan, pengumpulan data, analisis, hingga penarikan kesimpulan dilakukan secara sistematis dan metodologis.

“Pada bagian proses pengumpulan data, kita akan mengetahui bagaimana peneliti mengarsipkan diskusi selama berbulan-bulan, bagaimana peneliti berinteraksi—atau memilih untuk tidak berinteraksi—dan bagaimana wawancara lanjutan dilakukan melalui pesan pribadi atau email,” tuturnya.
Pada bagian selanjutnya, dosen Ilmu Komunikasi dan Studi Media Baru UIN Palopo ini juga mengajak peserta mengamati pendekatan kuantitatif komputasional dalam penelitian digital. Ia membahas proses data analysis, data collection, data cleaning, dan data preprocessing melalui studi kasus pemetaan jejaring otoritas keagamaan di platform X.
Lebih lanjut, ia menegaskan alasan pentingnya pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial keagamaan.
“Etnografi memberikan kedalaman, namun sulit untuk generalisasi. Sementara metode komputasional memungkinkan kita menganalisis data dalam skala besar untuk melihat pola, struktur dan tren yang tidak tampak oleh mata telanjang,” jelasnya.

Dengan analogi menarik, PhD dari Coomunication Dept of Vrije Universiteit Amsterdam ini menggambarkan perbedaan dua pendekatan tersebut.
“Jika etnografi virtual adalah mikroskop untuk melihat satu sel secara detail, maka analisis big data adalah teleskop untuk memetakan seluruh galaksi atau benua,” tambahnya.
Pada bagian akhir, Sulfikar mengupas pentingnya mixed methods—yakni perpaduan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif—untuk menghasilkan sintesis yang lebih komprehensif dalam penelitian kontemporer. Ia juga menyinggung tantangan etika dan praktis yang dihadapi peneliti saat berinteraksi di media sosial sebagai ruang penelitian.
Kegiatan Klinik Metodologi ini diakhiri dengan sesi diskusi interaktif antara narasumber dan peserta. Para peserta tampak antusias mengajukan pertanyaan dan berbagi pengalaman terkait penelitian digital di bidang studi Islam.
Penulis : Nur Azizah
Penyunting : Reski Azis



