Hoaks merupakan berita palsu. Jika dikonfirmasi kepada si penyebar hoaks tersebut, mereka menyatakan itu fakta, namun kenyataannya tidak demikian. Banyak orang Indonesia sebenarnya tidak sadar dan tidak dapat mendeteksi bahwa berita/informasi itu adalah hoaks atau mengandung hoaks (https://litbang.kemendagri.go.id/website/riset-44-persen-orang-indonesia-belum-bisa-mendeteksi-berita-hoax-2/). Kecanggihan teknologi dan kehebatan oknum penyebar hoaks membuat komunikasi interaksi sosial diputar balik sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi fakta yang sesungguhnya. Maka dari itu hoaks dapat merusak sistem interaksi kemasyarakatan seperti sikap moderasi beragama yang dibangun sebagai penopang hidup rukun dalam keragaman agama dan budaya di Indonesia.
Moderasi beragama dibangun sebagai implikasi dari amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. UUD 45 menjamin kebebasan beragama dan menghormati keberagaman agama di Indonesia. Ujaran kebencian, penghinaan di media sosial, merendahkan SARA (Suku, Agama, Ras) tententu adalah bentuk tendensi dari hoaks (http://research.kalbis.ac.id/Research/Files/Article/Full/LCSCVZI11HG7VORWMAFRW7GH3.pdf). Sikap moderasi beragama seseorang tercermin dalam sikap menghargai perbedaan dan hidup rukun dengan penganut keyakinan agama lain. Sikap yang tidak moderat berpotensi melahirkan paham radikalisme. Hal itu akan berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di jagat digital.
Ketegangan antar kelompok agama yang melahirkan sikap intoleran adalah wujud dari paparan hoaks. Polarisasi pengaruh sentiment anti-agama tertentu atau kebencian terhadap ajaran agama orang lain menguatkan pandangan ekstrim yang memicu konflik tidak hanya antar kelompok beragama, tetapi sesama keyakinan pun tidak luput daripada itu. Hambatan dalam mencapai sikap toleransi yang ideal antar kelompok beragama juga sulit terbangun.
Alasan mengapa “Si Penyebar Hoaks” menyebarkan berita palsu ini terjadi karena beberapa hal. Tentu motif tersebut dapat menyebabkan sikap intoleransi, anti-agama, kebencian terhadap pribadi tertentu. Maka dari itu perlu disadari dan harus berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Berikut uraian penyebab timbulnya hoaks yang merusak fondasi moderasi beragama:
- Penyebaran hoaks untuk kepentingan pribadi
Seseorang atau kelompok membuat dan menyebar hoaks adalah untuk tujuan tertentu seperti kekuasaan, pengaruh popularitas, misi tertentu untuk mengecutkan situasi permusuhan dalam perbedaan pandangan antar seseorang/kelompok lainnya. Ujaran kebencian, penghinaan/pelecehan di ruang virtual (https://payungkearifan.com/2023/03/14/tantangan-dan-spirit-moderasi-beragama-di-ruang-virtual/) dan perang kepentingan golongan menggunakan kekerasan dalam membela golongan/agama/pemahaman mereka. Untuk itulah disebar hoaks untuk menggalang dan menanamkan prinsip pemahaman mereka (Si Penyebar Hoaks) agar mendapat dukungan/kekuatan (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47308385).
- Kekeliruan dalam menerima dan mengolah sebuah informasi
Berdasarkan data riset bahwa 44% orang Indonesia tidak mengetahui dan tidak sadar berita yang diteruskan adalah berita hoaks hingga kemudian menjadi viral dan cepat dikonsumsi oleh publik. Dan bahayanya lagi jika hoaks yang disebarluaskan ternayat terkait isu-isu keagamaan maka akab membuat stigma masyarakat terpolarisasi dan berujung pada ujaran kebencian, penghinaan/penghujatan, pelecehan bahkan diskriminasi terhadap ajaran kepercayaan agama tertentu.
- Konflik kepentingan
Tujuan tertentu dari si pembuat hoaks ini ialah mereka yang memiliki konflik kepentingan dengan golongan tertentu agar saingan mereka untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak berbalik menjadi membenci. Perang dunia maya tidak terelakkan menjadi basis untuk memupuk dukungan sekaligus menyerang golongan kelompok lain yang dianggap berbahaya untuk golongan kelompok mereka “si penyebar hoaks”.
- Teknologi dan kebutuhan informasi
Di era digital ini ada istilah “gila informasi”, yaitu mereka yang haus akan ke-viral-an dan ingin membuat traffic pengunjung (followers) beranda media sosial mereka meningkat. Tujuannya jelas adalah cari perhatian. Menjual isu isu keagamaan dan tiba-tiba menjadi apologetic palsu yang tidak memiliki kemampuan tapi suka mengobral isu-isu keagaman berkedok sebagai ahli agama. Atau juga sengaja mencari dukungan terhadap keyakinan agamanya secara ekstrim dan fanatik. (https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/upload/files/Buku_Saku_Moderasi_Beragama-min.pdf)
Berdasar penyebab di atas menunjukkan bahwa sikap moderasi beragama seseorang akan sangat dipengaruhi dari bagaimana cara merespon, mengelola dan mengambil sikap untuk kemudian berprinsip berdasar pada informasi yang tersaji pada media, yang tentunya kita mengetahui dengan jelas diantara informasi yang tersaji disitu terdapat hoaks.
Lantas bagaimana upaya untuk mengantisipasi atau mencegah dari terpaparnya hoaks yang semakin hari semakin tidak terbendung kerusakan yang diakibatkan oleh hoaks ini?, solusi yang kemudian ditawarkan adalah bersikap moderat dalam bingkai moderasi beragama itu sendiri. Dengan mengambil sikap moderat dalam menjalankan keyakinan keagamaan masing-masing akan tercipta kerukunan hidup, saling menghargai dan toleransi pada batas – batas yang wajar dan tidak berlebih-lebihan dalam bersikap toleran (https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/upload/files/Buku_Saku_Moderasi_Beragama-min.pdf).
Beberapa cara penerapan moderasi beragama untuk menangkal hoaks. Pertama, Menjaga kecerdasan berpikir dalam menerima informasi. Sebagai insan yang memiiki sikap moderat akan memverifikasi dan tidak terburu-terburu untuk termakan informasi secara mentah-mentah. Penting untuk mengetahui kebenaran dalam informasi tersebut lalu secara hati-hati membagikan nya dengan yang lain dan tidak mudah dipengaruhi oleh sentiment agama yang berada dalam hoaks.
Kedua, membangun kepercayaan yang baik dan benar tentang agama dan keyakinan lain yang berbeda. Mengenal kepercayaan agama lain lalu mengahargai terhadap perbedaan ajaran agama masing-masing. Hal tersebut dapat membantu menangkal hoaks yang mendorong polarisasi antar agama. Dengan menghargai perbedaan dan memahami agama kapercayaan lain akan menghalangi hoaks yang memberikan sentiment negatif terhadap kepercayaan seseorang.
Ketiga, memperkuat jaringan komunikasi silaturahmi antar agama. Membangun jaringan komunikasi antar agama dapat membantu memverifikasi informasi yang dapat menangkal hoaks. Jaringan komunikasi antar agama dapat membentengi kerukunan umat beragama sekaligus menjadi fondasi dalam memerangi oknum penyebar hoaks.
Keempat, sebagai edukasi kepada masyarakat. Masyarakat yang heterogen dan majemuk penting untuk diedukasi tentang bahaya berita palsu yang abstrak kebenarannya. Sehingga dengan sikap moderasi beragama kita dapat membedakan dan mengajarkan orang lain yang mana palsu yang mana fakta.
Penulis: Muhammad Fachrurrazy (Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Palopo)