Pengaruh Lingkungan terhadap Pemerolehan Bahasa Kedua
Fadhliyah Rahmah Muin, S.Pd.I., M.Pd. dan Aisyah Muttaqillah (Prodi Pendidikan Bahasa Inggris IAIN Palopo)
Bahasa adalah bagian penting dari kehidupan. Manusia menggunakan bahasa tidak hanya untuk bertahan hidup. Manusia menggunakan bahasa untuk berbagai aspek kehidupan. Penggunaan bahasa tidak terlepas dari proses pemerolehan bahasa yang dialami manusia sejak kecil hingga dewasa. Bahasa yang digunakan anak sejak kecil dan menjadi alat yang paling banyak digunakan dalam interaksi sosial adalah bahasa pertama. Jika ada istilah bahasa pertama, tentu ada istilah bahasa kedua. Bahasa pertama adalah bahasa yang paling dikuasai dan paling sering digunakan oleh seseorang, sedangkan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh melalui pembelajaran dan cenderung dipelajari secara sengaja. Bahasa kedua bukan berarti terbatas pada bahasa kedua, melainkan bahasa lain yang dipelajari oleh seseorang baik itu satu bahasa, dua bahasa, atau lebih dari itu.
Definisi pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Menurut Stephen D. Krashen, pemerolehan bahasa mengacu pada kemampuan linguistik yang telah terinternalisasi secara alamiah atau tanpa disadari dan berfokus pada bentuk-bentuk linguistik (kata-kata). Sedangkan pembelajaran dilakukan secara sadar dan merupakan hasil dari situasi pembelajaran formal. Konteks pemerolehan bersifat alamiah, sedangkan pembelajaran mengacu pada kondisi formal dan konteks terprogram. Seseorang belajar bahasa karena motivasi berprestasi, tetapi memperoleh bahasa karena motivasi komunikasi.
Dalam proses pemerolehan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, ada banyak teori yang menjelaskan bagaimana proses ini terjadi. Dua teori yang paling umum dan mendasar adalah behaviorisme dan kognitivisme. Teori behaviorisme beranggapan bahwa seseorang dilahirkan tanpa pengetahuan apapun, sehingga lingkungan memegang peranan yang sangat penting dalam pemerolehan bahasa. Dengan kata lain, lingkungan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemampuan seseorang untuk belajar bahasa. Sebaliknya, teori nativisme berpendapat bahwa setiap individu dilahirkan dengan perangkat pemerolehan bahasa yang disebut Language Acquisition Device (LAD). Melalui LAD ini, seseorang dapat belajar bahasa. Namun, agar LAD dapat berfungsi dengan baik, diperlukan lingkungan yang mendukung. Melihat kedua teori tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat dipisahkan dari lingkungan. Lingkungan merupakan hal yang penting bagi seseorang dalam proses pemerolehan bahasa.
Littlewood berpendapat bahwa pendekatan behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa, lingkungan anak dipandang sebagai faktor pengaruh utama. Lingkungan memberikan model yang ditiru oleh anak dan penghargaan yang menghasilkan pengetahuan bagi anak. Seperti halnya dengan teori behaviorisme, begitu juga dengan teori kognitivisme. Menurut Littlewood, minat merupakan faktor yang berperan dalam mencapai proses internal anak. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa lingkungan lah yang menstimulasi proses internal tersebut. Lingkungan menyediakan berbagai materi kepada anak untuk mendukung pemerolehan bahasanya sesuai dengan tempat di mana ia berada. Hal ini juga dinyatakan oleh Subyakto bahwa anak yang dilahirkan telah memiliki prosedur dan kaidah-kaidah bahasa yang memungkinkan seorang anak mengolah data kebahasaan di lingkungannya.
Terlepas dari teori behaviorisme dan kognitivisme, peran lingkungan dalam pemerolehan bahasa sangat besar. Daulay berpendapat bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar bahasa untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru. Lingkungan secara umum adalah suatu wilayah yang mencakup segala sesuatu yang ada di dalamnya, termasuk hal-hal yang dapat didengar dan dilihat oleh panca indera manusia, terutama pendengaran dan penglihatan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa lingkungan bahasa adalah situasi dalam suatu wilayah tertentu di mana suatu bahasa tumbuh, berkembang, dan digunakan oleh para penuturnya. Dengan kata lain, lingkungan bahasa mencakup semua situasi yang dapat didengar dan dilihat oleh penutur di daerah tempat bahasa tersebut digunakan. Lingkungan bahasa adalah semua hal yang dapat didengar dan dilihat yang mempengaruhi proses komunikasi bahasa.
Berkenaan dengan peran lingkungan dalam pemerolehan bahasa, Ellis dengan tegas menyatakan bahwa lingkungan dalam hal pemerolehan bahasa secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) lingkungan formal dan (2) lingkungan informal. Lingkungan formal adalah lingkungan yang dibentuk secara resmi dan terencana. Salah satu contohnya adalah proses pembelajaran di dalam kelas yang dipandu oleh guru. Dalam lingkungan formal seperti ini, siswa dibimbing dan diarahkan oleh guru untuk menguasai sistem, kaidah, atau aturan bahasa yang sedang dipelajari. Selain lingkungan formal seperti situasi pembelajaran di kelas yang dipandu oleh guru, ada juga lingkungan formal lainnya. Misalnya, situasi ketika membaca atau mempelajari buku-buku tata bahasa.
Sedangkan lingkungan informal adalah lingkungan atau situasi alamiah yang terbentuk tanpa perencanaan. Lingkungan ini terjadi secara spontan dan apa adanya, tanpa rekayasa atau kesengajaan untuk membentuknya. Baik kita maupun pembelajar lebih sering berada di lingkungan informal daripada lingkungan formal. Lingkungan informal ini meliputi berbagai situasi, seperti ketika berkomunikasi di rumah dengan keluarga, berbicara dengan teman, atau berinteraksi dengan orang lain, di pasar, di kantor, atau di tempat lain, serta dalam berbagai situasi lain yang terjadi secara alamiah.
Berdasarkan hasil penelitian yang tim penulis lakukan, proses pemerolehan bahasa kedua sangat dipengaruhi oleh lingkungan informal, yaitu lingkungan keluarga dan teman. Lingkungan keluarga dan sekolah terutama teman-teman mempengaruhi tingkat kepercayaan diri dan kenyamanan seseorang dalam menggunakan bahasa kedua dengan seringnya menggunakan bahasa kedua dalam interaksi sehari-hari kecuali situasi formal. Saat seseorang mulai memahami dan menggunakan bahasa kedua sedikit demi sedikit ketika berinteraksi dengan keluarga dan teman-temannya, ia merasa sudah menjadi bagian dari mereka sehingga merasa nyaman menggunakan bahasa tersebut.
Lingkaran pertemanan sangat membantu dalam mempengaruhi motivasi dan minat seseorang untuk belajar dan menguasai bahasa kedua karena mereka dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaannya ketika dia mendapatkan kosakata baru. Setiap kali mendapatkan kosakata baru, ia merasa senang dan ingin terus belajar bahasa kedua karena merasa bisa mengetahui lebih banyak bahasa. Seseorang terkadang lebih sering menggunakan bahasa kedua saat bersama dengan teman sebayanya dibandingkan dengan lingkungan keluarga karena adanya kecanggungan menggunakan bahasa kedua di lingkungan tersebut.